Rabu, 21 Desember 2011

TRAFFICKING (PERDAGANGAN ORANG)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Isu perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak berapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Media massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja akan tetapi juga lika­liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kasus­kasus Perdagangan Manusia yang cukup mendapat sorotan media beberapa waktu yang lalu misalnya kasus penjualan tujuh orang perempuan Cianjur yang diperdagangankan sebagai pekerja seks komersil (PSK) ke Pekanbaru, Riau yang berhasil diselamatkan oleh Polres Cianjur beberapa waktu yang lalu. Upaya lainnya adalah upaya penyelamatan terhadap dua orang perempuan korban perdagangan perempuan yang dibebaskan oleh reporter SCTV dari Tekongnya di Malaysia. Tulisan ini akan mengulas secara singkat mengenai apa itu Perdagangan Manusia khususnya perempuan dan anak itu, bagaimana bentuk, tujuan

1.2 Batasan Masalah
Pada makalah ini, penulis tidak membahas kasus  perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak di berbagai belahan dunia, melainkan penulis membatasi hanya pada perdagangan (Trafficking) perempuan di negara Indonesia saja. Hal itu dilakukan agar pembahasan makalah tidak meluas. 

1.3 Rumusan Masalah
            Berdasarkan apa yang dibahas pada latar belakang masalah, mak penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
  1. Apa yang dimaksud dengan perdagangan manusia?
  2. Apa saja bentuk-bentuk perdagangan ?
  3. Siapa saja sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak?
  4. Siapakah pelaku perdagangan?
  5. Bagaimana penanganan terhadap korban perdagangan?
  6. Apa sajakah kendala penanganan kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak?
  7. Adakah hambatan dari kebijakan atau peraturan yang ada?
  8. Adakah hambatan dari penegakkan hukum?

1.4   Manfaat dan Tujuan
Adapun manfaat dan tujuan diadaknnya penelitian oleh penulis dalam menyusun makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa itu yang dimaksud dengan persagangan manusia
  1. Untuk mengetahui Apa saja bentuk-bentuk perdagangan
  2. Untuk mengetahui Siapa saja sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak
  3. Untuk mengetahui Siapakah pelaku perdagangan
  4. Untuk mengetahui Bagaimana penanganan terhadap korban perdagangan
  5. Untuk mengetahui kendala penanganan kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak
  6. Untuk mengetahui hambatan dari kebijakan atau peraturan yang ada
8.      Untuk mengetahui hambatan dari penegakkan hukum


BAB II
LANDASAN TEORITIS

Sampai sekarang sukar dicari pengertian yang universal tentang konsep trafficking. Mengikut Soesilo (1994), perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud menyerahkan perempuan kepada pihak lain untuk kepentingan pelacuran. Termasuk pula di sini adalah kegiatan mencari perempuan-perempuan untuk dikirim keluar negeri dan dijadikan pelacur. Konvensi PBB untuk Penindasan, Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacuran oleh Orang Lain tahun 1949 membatasi pengertian trafficking hanya pada praktek prostitusi dan kejahatan yang menyertai iaitu perdagangan manusia untuk tujuan prostitusi. Mengikut Global Alliance Against Trafficking Women (GAATW) tahun  1997, dalam definisinya menekankan adanya tiga elemen penting dalam konsep trafficking, yaitu rekrutmen, transportasi dan lintas batas negara. Kemudian oleh Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againt Women (CEDAW) tahun 1979, ditambahkan satu elemen lagi yakni elemen persetujuan atau consent. Dalam hal ini, persetujuan korban merupakan elemen kunci dalam konsep trafficking. Sepanjang tujuannya tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi pekerja migran atau masih dalam batas-batas consent yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai trafficking.
Berdasarkan beberapa definisi yang dihurai di atas, maka bolehlah dikatakan bahwa perdagangan perempuan ialah suatu kegiatan yang meliputi proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan pengiriman perempuan baik di dalam wilayah negara maupun melintasi batas negara untuk pekerjaan atau pelayanan dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penghambaan dan  penipuan untuk tujuan eksploitasi.


BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

3.1 Penjelasan Bahasa dalam Logika Hukum
Dalam Protokol PBB, untuk mencegah, memberantas, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak (2000), Suplemen Konvensi PBB untuk melawan organisasi kejahatan lintas batas dikatakan:
(a) Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atu memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja, atau pelayan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
(b)     Persetujuan korban perdagangan manusia terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam subalinea (a) artikel ini tidak akan relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan;
(c)      Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai "perdagangan manusia" bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub alinea (a) pasal ini;
(d)     "anak" adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahunills11].
Dari defmisi tersebut terlihat bahwa terdapat 3 (tiga) unsur pokok sehingga suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai Perdagangan Manusia. Unsur pokok tersebut yaitu yang berkaitan dengan proses, cara dan tujuan.
Apabila salah satu faktor dari ketiga kategori diatas terpenuhi, akibatnya terjadilah perdagangan. Persetujuan dari korban tidak lagi relevan bila salah satu cara yang tercantum di atas digunakan. Dalam hal korban perdagangan adalah anak­anak, maka persetujuan menjadi tidak relevan baik dengan memakai maupun tidak memakai cara-cara di atas. Kerap kali unsur pemaksaan yang dilakukan oleh pelaku perdagangan (traffickers) menjadi "dengan atau tanpa persetujuan" dari korban. Diantara banyaknya kasus perdagangan perempuan dan anak yang terjadi, dengan terpenuhinya syarat bahwa perdagangan hams melibatkan unsur penipuan, kekerasan, atau pemaksaan, maka seorang perempuan juga anak-anak dapat menjadi diakui sebagai korban perdagangan. Bahkan jika is menyetujui perekrutan atau pengiriman dirinya ke tempat bekerjanya pun, juga dapat dikatakan sebagai korban. Biasanya seseorang akan menyetujui perekrutan diri mereka bahkan ingin sekali direkrut sebagai tenaga kerja ke luar negeri (buruh migran). Namun fakta yang terjadi di lapangan calon tenaga kerja ini tidak mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai kondisi kerja yang mereka akan hadapi di negara tujuan bekerja. Mereka mungkin akan dipaksa untuk menjadi pekerja seks, dipaksa untuk bekerja dengan pembayaran yang kecil atau tidak digaji sama sekali, dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang lain dari yang dijanjikan sebelumnya.

3.2 Bentuk-bentuk Perdagangan
Perdagangan perempuan dan anak terjadi dalam berbagai bentuk. Di Indonesia terdapat pengakuan bahwa bentuk-bentuk perburuhan eksploitatif sektor informal, perburuhan anak, perekrutan untuk industri seks, dan perbudakan berkedok pernikahan, yang sebelumnya telah ada dan diterima masyarakat, sebenarnya merupakan bentuk-bentuk perdagangan manusia dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dari individu yang terlibat. Pekerjaan-pekerjaan sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja seks, pekerja anak, serta pengantin pesanan diketahui paling banyak dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia. Berikut ini beberapa bentuk perdagangan perempuan dan anak yang kerap ditemui kasusnya di lapangan:
1.   Pelacuran dan eksploitasi seksual termasuk eksploitasi seksual anak (pedofilia)
2.   Menjadi buruh migran baik legal maupun illegal
3.   Pekerja rumah tangga (PRT)
4.   Pengemis
5.   Industri pornografi
6.   Pengedaran obat terlarang (Narkoba)
7.   Penjualan organ tubuh
8.   Sebagai penari, serta bentuk eksploitasi lainnya.

3.3 Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak                 
Siapa saja (setiap orang) dapat menjadi korban perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak Meskipun perdagangan manusia mencakup juga perdagangan laki-laki, perempuan, dan anak namun fokus dari program bantuan hukum kepada korban perdagangan yang dilakukan SP lebih kepada korban perempuan dan anak. Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan dan anak adalah sebagai berikut:
·     Anak-anak jalanan
·        Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan/ informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih
·        Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
·        Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
·        Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar Negara
·        Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang
·        Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
             Perempuan yang 3.4 pelaku perdagangan menjadi korban perkosaan

3.4  Pelaku perdagangan
Pelaku perdagangan kerap digambarkan sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas negara yang terorganisir. Meski gambaran tersebut ada benarnya dalam sebagian kasus namun ada juga pelaku perdagangan yang bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisir, mereka bekerja merekrut dan mengirim tenaga kerja secara independen, baik secara kelompok maupun individu, dan ada juga tokoh masyarakat di daerahnya. Namun, banyak dari aktor yang terlibat dari perdagangan perempuan dan anak ini, sebagian terlibat langsung, tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Berikut ini pelaku perdagangan perempuan dan anak, antara lain:
Agen perekrut tenaga kerja atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonsia (PJTKI) yang membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari perempuan dan anak yang ingin bekerja ke luar negeri,
·        Agen/ calo
·        Pemerintah
·        Majikan
·        Pemilik dan pengelola rumah bord
·        Orang tua dan sanak saudara
·        Suami, teman, keluarga terdekat, dls.

3.5 Penanganan terhadap korban perdagangan
Solidaritas Perempuan (SP) telah melakukan advokasi terhadap buruh migran perempuan (BMP) khususnya pekerja rumah tangga (PRT) dan menemukan banyak kasus perdagangan perempuan anak dalam proses pengiriman buruh keluar negeriKorban diperdagangkan terutama sebagai pekerja rumah tangga (PRT), buruh pabrik, pekerja bar, restoran, bahkan ada yang dipaksa menjadi pekerja seks. Sebagai gambaran, Sepanjang tahun 2002 SP menangani 280 jenis pelanggaran hak-hak BMP yang dialami oleh 142 Buruh Migran Indonesisa (BMP), termasuk di dalamnya kasus spesifik perdagangan perempuan dan anak (4 kasus). Sedangkan pada tahun 2003 sendiri, tercatat 55 kasus kekerasan terhadap BMP, terdiri dari 43 kasus kekerasan umum (kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual) dimana terdapat 12 kasus perdagangan perempuan dan anak, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri.
Kondisi perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan sangat menyediahkan. Hak-hak mereka terus dilanggar, ada yang ditawan, dilecehkan, dan dipaksa bekerja diluar keinginan mereka. Hal ini menempatkan mereka pada kondisi seperti perbudakan, dalam mana mereka tidak lagi memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, hidup dalam situasi ketakutan dengan rasa tidak aman.Diperlukan berbagai upaya untuk mencegah dan melindungi perempuan dan anak-anak korban perdagangan. Salah satu upaya melindungi korban adalah membantunya mendapatkan kembali hak-haknya atau rehabilitasi fisik maupun psikis. Banyaknya korban perdagangan perempuan dan anak berbanding terbalik dengan pelayanan dan bantuan yang mereka terima untuk mengembalikan hak‑haknya yang terampas. Tidak banyak pusat-pusat pelayanan yang dapat diakses para korban. Sementara, mereka sangat membutuhkan pelayanan integral yang meliputi: pelayanan hukum, pelayanan kesehatan psikis maupun fisik, tempat penampungan sementara (shelter/rumah aman) dan lain-lain.
Diperlukan upaya pemberian pelayanan hukum bagi korban perdagangan untuk mengetahui sejauh mana peraturan perundang-undangan diatas dapat digunakan untuk melindungi korban perdagangan dan mendapatkan hak-haknya yang terampas. Pelayanan hukum juga menjadi entry point yang efektif untuk mengetahui bentuk pelanggaran hak para korban perdagangan.

3.6 kendala penanganan kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak
Upaya penanggulangan Perdagangan Manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini, terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya tersebut, yaitu antara lain budaya masyarakat (culture), kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan (legal substance) serta yang bersumber pada aparat penegak hukum (legal structure).

3.7 Hambatan dari kebijakan atau peraturan yang ada
Dari aspek kebijakan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan (legal substance) hambatan yang cukup besar yaitu belum adanya regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN penghapusan perdagangan perempuan dan anak Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut. Adanya beberapa regulasi yang dapat digunakan dalam penegakkan hukum untuk kasus-kasus perdagangan yang ada seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU keimigrasian, Undang-undang No.23/1992 tentang Kesehatan dll ternyata tidak dapat melihat kasus perdagangan perempuan dan anak secara utuh (menyeluruh). Berbagai regulasi masih melihat kejahatan tersebut sebatas kriminal biasa. Hal itu berdampak pada perlindungan terhadap korban dan jeratan hukuman bagi para pelaku yang terlibat dalam proses perdagangan perempuan dan anak tersebut menjadi tidak maksimal. Regulasi lain yang juga sangat penting dan terkait dengan proses penanganan kasus-kasus perdagangan adalah perlunya upaya perlindungan bagi saksi dan korban yang akan menjadi saksi dalam suatu kasus perdagangan dalam bentuk UU perlindungan saksi dan korban.

3.8 Hambatan dari penegakkan hukum
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses yang kriminalisasi biasa dan dikenakan pasal KUHP seperti penipuan (Pasal 378) atau pemalsuan surat (Pasal 263) seperti dalam kasus Mina di atas kepolisian hanya menjerat pelaku (Direktur PJTKI) dengan pasal pemalsuan surat saja (Pasal 263 KUHP) saja dikarenakan tidak ada yang dapat membuktikan adanya pemerasan dan ancaman yag dilakukan oleh agensi di Singapura.
Terhentinya kasus di tingkat penyidikan seringkali disebabkan oleh kurangnya saksi dan bukti. Banyak orang tidak mau bersaksi karena kesadaran akan persoalan trafficking masih belum banyak dimilild oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum. Untuk itu, sangat penting untuk dilkaukan advokasi dalam berbagai bentuk. Ada dua advokasi yang dapat dilakukan berkaitan dengan penanganan kasus-kasus trafficking, pertama: menggunakan mekanisme yang sudah ada (proses hukum) berkaitan dengan tindak pidana/kejahatan yang dilakukan oleh pelaku (traffickei) mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan hingga pemberian putusan pidana di pengadilan. Advokasi yang kedua melalui upaya desakan (pressure) dari berbagai pihak untuk mendorong bekerjanya proses hukum agar berjalan optimal. Desakan yang dilakukan berbagai pihak baik masyarakat, kalangan akademisi, LSM sebagai kelompok penekan (pressure group) ini sangat perlu dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, bahwa kelompok penekan mempunyai fungsi control/pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum/instansi terkait guna memperbaiki kinerja, sistem yang sedang berjalan agar tetap berada di koridor sesuai dengan asas pemerintahan yang baik. Kedua, untuk menghindari praktek abuse of power dan pelanggaran hak-hak korban juga pelaku dari aparat penegak hukum itu sendiri. Ketiga, adanya keterbatasan dari proses hukum itu sendiri dimana kepastian hukum hanya dapat dicapai melalui hukum tertulis dan sangat tergantung kepada sanksi dan bukti yang ada. Keterbatasan itu dapat menyebabkan suatu tindak pidana dihentikan/ tidak diproses ditingkat penyidikan. Untuk melakukan pressure group banyak cara yang dapat digunakan untuk itu, diantaranya seperti melakukan dialog, hearing, audiensi dengan instansi atau pihak terkait atau dapat juga dilakukan melalui penyadaran melalui sosialisasi seperti diskusi dan dialog bersama masyarakat dan aparat penegak hukum sebagai salah satu cara mendukung para korban perdagangan perempuan dan anak mendapatkan keadilan.
 

BAB IV
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Perdagangan perempuan dan anak (trafficking in women and children) menjadi salah satu sorotan dunia. Asia Pasifik dan Timur Tengah merupakan kawasan utama tujuan buruh migran perempuan termasuk korban yang diperdagangkan. Negara tujuan tersebut antara lain: Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, Palestina, Qatar. Adapun Indonesia merupakan salah satu negara pengirim buruh migran khususnya buruh migran perempuan di kawasan Asia Tenggara yang ingin bekerja ke luar negeri. 

4.2 Saran
Dalam penanganan perdagangan perempuan dan anak ini, diharapkan keterlibatan berbagai pihak di dalamnya mulai dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, kalangan akademisi, kelompok masyarakat, individu untuk dapat membantu korban perdagangan perempuan dan anak maupun untuk membantu memberikan dukungan dan tekanan terhadap pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak melindungi korban dan menjerat pelaku perdagangan. Terakhir upaya sekecil apa pun yang Anda lakukan akan sangat berarti untuk membawa perubahan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan baik dalam tingkat advokasi nasional dan daerah antara lain:
1. Perlunya dibangun sistem perlindungan di tingkatan komunitas/ basis (daerah), seperti: pelayanan pemberian informasi yang tepat untuk bekerja ke luar negeri;
Capacity building komunitas/ basis di daerah mengenai pelayanan hukum untuk korban perdagangan perempuan dan anak
Mengkampanyekan dan mendesak disahkannya:
-        Ratifikasi konvensi 1990 mengenai Perlindungan buruh migran dan
keluarganya
-        UU perlindungan buruh migran dan keluarganya;
-        UU Anti Trafficking;
-        Serta UU Perlindungan saksi.
2. Capacity building untuk sensitif terhadap isu perdagangan perempuan dan anak bagi pemerintah, aparat penegak hukum, media dan kalangan akademisi.








1 komentar: