Rabu, 21 Desember 2011

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (UU PKDRT) DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai meru-pakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya da-pat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak-adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melak-sanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap marta-bat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khusus-nya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekera-san, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
  • UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya;
  • UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
  • UU 1/1974 tentang Perkawinan;
  • UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan
  • UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik keke-rasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.
Berlatar belakang dari uraian di ataslah, maka penulis mencoba menuangkan dalam makalah yang berjudul : “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dalam Sistem Hukum Indonesia”

B.   Rumusan Masalah
Dalam membahas hal-hal yang berhubungan dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), maka penulis dengan segala keterbatasan baik wawasan maupun literatur yang ada, serta tanpa mengurangi aspek-aspek yang lainnya, penulisan ini diarahkan untuk mengkaji lebih jauh hal-hal sebagai berikut :
1.   Apa dampak dari adanya kekerasan dalam rumah tangga?
2.   Bagaimana upaya penanggulangan tindakan kekerasan dalam rumah tangga?
3.   Apa kewajiban Pemerintah terhadap adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga?
4.   Apa ketentuan pidana untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga?

C.   Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penulis menyusun makalah ini pada dasarnya adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Delik-Delik Khusus di Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, serta lebih memahami :
1.   Dampak dari adanya kekerasan dalam rumah tangga.
2.   Upaya penanggulangan tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
3.   Kewajiban Pemerintah terhadap adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
4.   Ketentuan pidana untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Menurut UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Pasal 1 Butir 1, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 2 menjabarkan selanjutnya:
(1)  Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang ini meliputi:
a.    suami, istri, dan anak
b.   orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c.    orang yang bekerja membantu rumah tanggadan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2)  Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

B.   Lingkup Rumah Tangga
Lingkup rumah tangga meliputi :
  1. Suami, isteri dan anak.
  2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
  3. Orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

C.   Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi :
  1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Ps 5 jo 6);
  2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseo-rang (Ps 5 jo 7);
  3. Kekerasan Seksual, yakni setiap per-buatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8), yang meliputi:
·         Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
·         Pemaksaan hubungan seksual ter-hadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
  1. Penelantaran Rumah Tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangku-tan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Ps 5 jo 9).

D.  Asas Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Asas Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun yang meliputi :
  • Penghormatan hak asasi manusia;
  • Keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewu-judkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsu-ngan rumah tangga secara proporsional.
  • Nondiskriminasi; dan
  • Perlindungan korban.

E.   Tujuan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun yang meliputi :
  • Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
  • Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
  • Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

BAB III
PEMBAHASAN

A.   Dampak dari Adanya Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dampak KDRT dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
1.   Dampak terhadap wanita
·         Terus menerus mengalami ketakutan dan kecemasan, hilangnya rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk berindak dan rasa tidak berdaya.
·         Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri.
·         Trauma fisik berat : memar berat luar/dalam, patah tulang, cacat.
·         Trauma fisik dalam kehamilan yang berisiko terhadap ibu dan janin.
·         Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwa.
·         Curiga terus menerus dan tidak mudah percaya kepada orang lain (paranoid).
·         Gangguan psikis berat (depresi, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, kurang nafsu makan, kelelahan kronis, ketagihan alkohol dan obat-obatan terlarang).
2.   Dampak terhadap anak-anak
·         Perilaku yang agresif atau marah-marah
·         Meniru tindakan kekerasan yang terjadi di rumah
·         Menjadi sangat pendiam dan menghindar
·         Mimpi buruk dan ketakutan
·         Sering tidak makan dengan benar
·         Menghambat pertumbuhan dan belajar
·         Menderita banyak gangguan kesehatan
3.   Dampak terhadap masyarakat
·         Siklus kekerasan akan terus berlanjut ke gerasi yang akan datang.
·         Anggapan yang keliru akan tetap lestari bahwa pria lebih baik dari wanita.
·         Kualitas hidup manusia akan berkurang karena wanita tidak berperan serta dalam aktivitas masyarakat bila wanita tersebut dilarang berbicara atau terbunuh karena tindakan kekerasan.
·         Efek terhadap produktifitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya kontribusi terhadap masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja, dan cuti sakit bertambah sering.

B.   Upaya Penanggulangan Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Penanggulangan Kekerasana dalam Rimah Tangga merupakan tanggung jawab semua pihak, karena KDRT saat ini tidak hanya dianggap sebagai masalah keluarga, namun sudah masuk ke ranah hokum. Dimana pelaku tindak kekerasan tersebut dapat dijerat dalam pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya melalui pasal penganiayaan dan tindak pidana kekerasan.
Hal ini merupan sebuah terobosan dalam proses penanggulangan KDRT. Karena dari tahun ke tahun masalah kdrt itu selalu mengalami peningkatan. Dimana sebagian besar korbannya merupakan perempuan. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menciptakan penanggulangan KDRT daintaranya :
1.   Memberikan kesadaran pada para ibu rumah tangga sebagai mayoritas korban, tentang hak yang dimiliki tentang kesetaraan peran dalam rumah tangga.
2.   Memberikan pemahaman dan pengertian tentang paying hokum serta proses hokum yang bias dijalani, jika mereka menjadi korban KDRT.
3.   Memberikan keyakinan akan adanya perlindungan dari korban KDRT yang melaporkan masalah KDRT pada pihak yang berwenang.
4.   Menyadarkan pada para korban, bahwa tidak perlu malu untuk mengekspos dan melaporkan kasus tersebut pada pihak yang berwajib. Sebab, KDRT bukanlah sebuah aib, melainkan sebuah tindakan kriminal yang perlu mendapatkan penanganan secara hukum.
5.   Memberikan kesadaran kepada kaum pria, tentang adanya batasan wewenang yang dapat dilakukan kepada istrinya.

C.   Kewajiban Pemerintah terhadap Adanya Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Pe-rempuan) bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Ps 11). Oleh karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Ps 12):
  • Merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
  • Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban keke-rasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:
  • Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
  • Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
  • Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
  • Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Ps 14).

D.  Ketentuan Pidana untuk Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ketentuan pidana untuk pelaku kekerasan dalam rumah tangga dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu :
a.    Kekerasan Fisik (Delik Ancaman Sanksi)
·         Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yaitu penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau denda paling banyak Rp 15 juta.
·         Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, yaitu penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau denda paling banyak Rp 30 juta.
·         Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban, yaitu penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau denda paling banyak Rp 45 juta.
·         Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, yaitu penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau denda paling banyak Rp 5 juta.
b.   Kekerasan Psikis (Delik Ancaman Sanksi)
·         Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau denda paling banyak Rp 9 juta.
·         Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, yaitu penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau denda paling banyak Rp 3 juta.
c.    Kekerasan Seksual (Delik Ancaman Sanksi)
·         Kekerasan seksual, yaitu penjara paling lama 12 tahun; atau denda paling banyak Rp 36 juta.
·         Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual, yaitu penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta.
·         Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, yaitu penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta.
d.   Penelantaran Rumah Tangga (Delik Ancaman Sanksi)
·         Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau menelantarkan orang lain yang berada di bawah kendali, yaitu penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau denda paling banyak Rp 15 juta.
Pidana Tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim dapat men-jatuhkan pidana tambahan berupa:
·         Pembatasan Gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
·         Penetapan pelaku mengikuti program Konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Selama ini KDRT diidentifikasikan dengan delik aduan. Padahal kalau dilihat dari Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan) dan Pasal 356 (tentang Pemberatan, ternyata tidak diisyaratkan adanya aduan. Hanya saja khususnya penegak hukum, jika suatu kejahatan yang berhubungan dengan keluarga, maka dilihat sebagai delik aduan padahal itu adalah kasus criminal murni. Sehingga jika kemudian korban menarik aduannya, maka hendaknya penegak hukum dapat meneruskannya ke pengadilan.


BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari uraian-uraian pada pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.   KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2.   KDRT dapat berdampak pada korban, yang mayoritas korbannya ialah kaum perempuan, anak, dan masyarakat lainnya.
3.   Ketentuan pidana untuk pelaku KDRT dapat dikenakan ancaman penjara maupun denda, sesuai dengan kekerasan yang dilakukan terhadap korban.

B.   Saran
Untuk menyikapi permasalahan yang telah penulis uraikan, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1.   Diharapkan semoga tindak pidana KDRT tidak semakin banyak terjadi di Indonesia, karena telah ada aturannya dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2.   Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku KDRT.
3.   Diharapkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga akan berjalan efektif dalam system hokum di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA


Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sudarto. 1977. Hukum dan Hukumm Pidana. BAndung: Alumni.

________ , 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.


www.google.com : Kekerasan dalam Rumah Tangga
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1 komentar: