Senin, 15 November 2010

FUNGSI BAHASA DALAM LOGIKA HUKUM


BAB I
                    PENDAHULUAN                    

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya tidak lain karena ia memiliki akal untuk berpikir. Penyaluran dari sebuah gagasan, ide-ide, pikiran serta argumentasi yang dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk bahasa. Karena bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif untuk mengapresiasikan sesuatu. Namun dalam penyaluran tersebut dibutuhkan suatu kemampuan yaitu kemampuan merangkai kata demi kata,  sehingga menghasilkan suatu kalimat yang berbobot dan berkualitas. Serta dapat tersampaikan secara sempurna, secara keseluruhan subjek yang dituju.
Bahasa merupakan suatu sarana super canggih, yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya. Dengan akal, manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuninya dan dengan bahasa manusia dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya. Atau memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Manusia karena akalnya yang dituangkan dalam bahasa menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berpikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya.
Dalam kemampuan berpikir seseorang memerlukan bahasa, dengan demikian peranan bahasa sangat diperlukan. Adapun hubungan antara bahasa dengan kemapuan berpikir secara logis sangat erat, karena berpikir secara logis diperlukan penggunaan bahasa yang secara struktural.   Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: ”Aku berpikir, karena itu aku ada”. Bahkan dalam teori mensyariatkan hukum Islam, teori logika jelas menggunakan alat, sama sekali tidak dapat “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika. Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan akhlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian  yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an Al-Karim.
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, ketika memahami Al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum yang tentunya dibutuhkan analisis berpikir tepat dalam memahaminya.  Akan tetapi hasil pemikiran manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan tersebut bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal tersebut memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berpikir dan selamat dari mendapatkan kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berpikir atau metodologi berpikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau mantiq.
Uraian di atas melatarbelakangi penulisan makalah ini, meskipun di dalamnya hanya menyinggung sebagian kecil dari adanya ilmu logika.
1.2 Batasan Masalah
Pada makalah ini, penulis tidak membahas masalah Fungsi Logika Hukum dalam berbagai bahasa dunia. Tetapi makalah ini membahas tetang fungsi bahasa khususnya dalam Logika Hukum di Indonesia. Agar pembahasan masalah dalam makalah ini tidak terlalu melebar dan meluas, sehingga dapat langsung tertuju pada pembahasan intinya.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang dibahas pada latarbelakang masalah, mak penulis merumuskan permasalhan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Bahasa dalam Logika Hukum?
2.  Apa saja Bentuk-Bentuk Umum Bahasa?
3.  Apa saja Ciri-Ciri Khas Bahasa pada Umumnya?
4.  Apa saja Jenis-jenis Ilmu Pengetahuan Bahasa?
5. Apa Fungsi Bahasa Hukum?
6. Apa  Fungsi Bahasa dalam Logika Hukum?
1.4 Manfaat dan Tujuan
Adapun manfaat dan tujuan diadaknnya penelitian oleh penulis dalam menyusun makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui mengenai Bahasa dalam Logika Hukum.
  1. Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk Umum Bahasa.
  2. Untuk mengetahui Ciri-Ciri Khas Bahasa pada Umumnya.
  3. Untuk mengetahui Jenis-jenis Ilmu Pengetahuan Bahasa.
  4. Untuk mengetahui Fungsi Bahasa Hukum.
  5. Untuk mengetahui Fungsi Bahasa dalam Logika Hukum.

BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 Sejarah Bahasa
Bahasa Indonesia yang sekarang ini berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan yang ditempuh oleh bahasa Indonesia tak terpisahkan dengan perjalanan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia untuk merdeka. Sejalan dengan hal tersebut, sejarah perkembangan bahasa Indonesia dapat ditinjau dari masa sebelum Indonesia merdeka dan masa sesudah merdeka. Peristiwa bersejarah yang monumental bagi bangsa dan bahasa Indonesia adalah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Ikrar Sumpah Pemuda itu terdiri atas tiga butir yang berbunyi sebagai berikut:
Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia Ketiga Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia Tampak pada teks di atas bahwa ikrar pertama dan kedua berbeda dengan ikrar yang ketiga. Ikrar pertama dan kedua berupa pernyataan pengakuan terhadap tumpah darah yang satu dan bangsa yang satu; sedangkan ikrar yang ketiga tidak berupa pengakuan, tetapi berupa kebulatan tekad untuk men¬junjung bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda tidak berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbahasa yang satu, bahasa Indonesia. Dengan demikian, ungkapan Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yang sering diucapkan orang tidak sesuai dengan aslinya. Memang, kita mengaku satu nusa dan satu bangsa, tetapi tidak mengaku hanya satu bahasa. Banyak orang salah sangka terhadap ikrar ketiga Sumpah Pemuda. Bangsa Indonesia tidak berkeinginan hanya memiliki satu bahasa dipertegas oleh penjelasan Pasal 36, UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipelihara dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Bali dan sebagainya), dihormati dan dipelihara juga oleh negara
Dalam pada itu, nama “bahasa Indonesia” baru dikenal sejak 28 Oktober 1928, yang sebelumnya bernama “bahasa Melayu.” Bahasa Melayulah yang mendasari bahasa Indonesia yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahli sosiologi bahasa adalah kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.
Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
a. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-       abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.
b. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.
c. Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
d. Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa. Bahasa Melayu mampu mengatasi perbedaan-perbedaan bahasa antarpenutur yang berasal dari berbagai daerah. Dipilihnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan tidak rnenimbulkan perasaan kalah terhadap golongan yang lebih kuat dan tidak ada persaingan antarbahasa daerah. Sehubungan dengan hal yang terakhir itu, kita wajib bersyukur atas kerelaan mereka membelakangkan bahasa ibunya demi cita-cita yang lebih tinggi, yakni cita-cita nasional. Hal seperti ini tidak terjadi di negara tetangga kita, misalnya Malaysia, Singapura, dan Filipina. Bahasa Filipina (Tagalog) yang diangkat menjadi bahasa nasional mendapat saingan keras dari bahasa Sebuano dan Hokano yang tidak rela bahasa Tagalog menang. Malaysia mencontoh Indonesia dalam kebijakan bahasa mereka dengan menetapkan bahasa Malaysia sebagai bahasa persatuan, yang sekarang sudah menjadi bahasa resmi. Singapura menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan dan menduduki bahasa kedua setelah bahasa Inggris. Dalam pada itu, ada beberapa pendapat berkaitan dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang perlu kita perhatikan. Muh. Yamin, penyusun ikrar Sumpah Pemuda, pada Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926, menyatakan keyakinannya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Kebu-dayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Selanjutnya dengan tegas dia menyatakan bahwa bahasa yang dahulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikubur dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Tiga bulan menjelang diadakan Sumpah Pemuda, tepatnya pada 15 Agustus 1926, Soekarno dalam pidatonya menyatakan bahwa perbedaan bahasa di antara suku bangsa Indonesia tidak akan menghalangi persatuan, tetapi makin luas bahasa Melayu (bahasa Indonesia) itu tersebar, makin cepat kemerdekaan Indonesia akan terwujud. Ada pendapat lain, sesudah, diikrarkan Sumpah Pemuda, terutama yang berkaitan dengan ikrar ketiga, St. Takdir Alisjahbana menjelaskan secara luas apa yang disebut bahasa Indonesia. Dia menyatakan, “bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan setelah bangkitnya pergerakan kebangsaan rakyat Indonesia pada permulaan abad kedua puluh dengan insaf diangkat dan dijunjung sebagai bahasa persatuan”. Dalam pernyataan itu dengan sengaja dicantumkan kata dengan zwa/untuk membedakan pengertian antara bahasa yang dahulu disebut bahasa Melayu dengan bahasa yang sekarang disebut bahasa Indonesia. Selanjutnya, St. Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa bahasa Indonesia itu terusan, sambungan dari bahasa Melayu, tetapi ada bedanya dengan fase yang dahulu. Bahasa Indonesia itu dengan insaf diangkat dan dijunjung serta dipakai sebagai bahasa yang memperhubungkan dan mempersatukan rakyat Indonesia.
Sejalan dengan pendapat di atas, H.B. Yassin menyatakan bahwa Sumpah Pemuda adalah suatu manifesto politik yang juga mengenai bahasa. Penamaan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia tidak berdasarkan perbedaan dalam struktur dan perbendaharaan bahasa pada masa itu, tetapi semata-mata dasar politik. Dalam bahasa tidak terjadi perubahan apa-apa, tetapi hanya berganti nama sebagai pernyataan suatu cita-cita kenegaraan, yaitu kesatuan, tanah air, bangsa dan bahasa. Perlu Anda ketahui bahwa pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat. Sayangnya, anggota bumiputra tidak banyak yang memanfaatkannya.
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan. Demikianlah “lahir”nya bahasa Indonesia bukan sebagai sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, tetapi melalui perjuangan panjang disertai keinsyafan, kebulatan tekad, dan semangat untuk bersatu. Dan, api perjuangan itu berkobar terus untuk mencapai Indonesia merdeka, yang sebelum itu harus berjuang melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Dalam keadaan tiba-tiba, Jepang tidak dapat memakai bahasa lain, selain bahasa Indonesia untuk berhubungan dengan rakyat Indonesia. Bahasa Belanda jatuh dari kedudukannya sebagai bahasa resmi. Bahkan, dilarang digunakan. Sebenarnya Jepang mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia dan bermaksud membuat bahasa Jepang menjadi bahasa resmi di Indonesia sebagai pengganti bahasa Belanda. Akan tetapi, usaha itu tidak dapat dilakukan secara cepat seperti waktu dia menduduki Indonesia. Karena itu, untuk sementara Jepang memilih jalan yang praktis, yaitu memakai bahasa Indonesia yang sudah tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Perlu Anda catat bahwa selama zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan. Demikianlah, Jepang terpaksa harus menumbuhkan dan mengembangkan bahasa Indonesia secepat-cepatnya agar pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Bagi orang Indonesia hal itu merupakan keuntungan besar terutama bagi para pemimpin pergerakan kemerdekaan. Dalam waktu yang pendek dan mendesak mereka harus beralih dari berorientasi terhadap bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Selain itu, semua pegawai negeri dan masyarakat luas yang belum paham akan bahasa Indonesia, secara cepat dapat memakai bahasa Indonesia. Waktu Jepang menyerah, tampak bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, makin kuat kedudukannya. Berkaitan dengan hal di atas, semua peristiwa tersebut menyadarkan kita tentang arti bahasa nasional. Bahasa nasional identik dengan bahasa persatuan yang didasari oleh nasionalisme, tekad, dan semangat kebangsaan. Bahasa nasional dapat terjadi meskipun eksistensi negara secara formal belum terwujud. Sejarah bahasa Indonesia berjalan terus seiring dengan sejarah bangsa pemiliknya. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan kedudukan adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial bahasa yang bersangkutan. Sedangkan fungsi adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu dalam kedudukan yang diberikan kepadanya.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimiliki sejak diikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara dimiliki sejak diresmikan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 tercantum “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebangsaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai suku bangsa yang latar belakang sosial budaya dan bahasanya berbeda, dan (4) alatperhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sebagai lambang kebangsaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebangsaan itu, bahasa Indonesia selalu kita pelihara dan kita kembangkan. Begitu pula rasa bangga memakai bahasa Indonesia wajib kita bina terus. Rasa bangga merupakan wujud sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif itu terungkap jika kita lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada kata bahasa asing.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dapat menimbulkan wibawa, harga diri, dan teladan bagi bangsa lain. Hal ini dapat terjadi jika kita selalu berusaha membina dan mengembangkannya secara baik sehingga tidak tercampuri oleh unsur-unsur bahasa asing (terutama bahasa Inggris)) yang tidak benar-benar kita perlukan; Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa Indonesia harus ditingkatkan. Sering kita jumpai pemakaian bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris seperti tampak pada contoh berikut ini.
Lembaga Pendidikan £ Training Computer ‘ Melayani: Pengetikan, Programming, Analisis Data.
Pemakaian bahasa gado-gado seperti contoh di atas dapat menurunkan wibawa pemakainya. Agar dapat dijadikan teladan dan dihormati orang lain, bahasa gado-gado di atas harus bersih dari kata-kata asing, seperti dituliskan ‘: berikut ini. Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Komputer Melayani: Pengetikan, Pemrograrnah, dan Analisis Data.
2.2 Sejarah Logika
Nama logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi dalam arti “seni berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masehi) adalah orang pertama yang menggunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiah kelas super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan internasional tidak mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk logika atau ilmu mantiq Aristoteleslah yang menjadi guru utamanya.
Akan tetapi, meski Aristoteles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada logika. Segala orang ilmiah  dan ahli filosofi sebelum Aristoteles menggunakan logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain, disebukan bahwa sebelumnya memang tidak pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tidak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru Pertama). Bahkan Filosof Besar Immanuel Kant mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkah pun tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa sebelum Aristoteles memang adal logika. Akan tetapi, ilmu logika sebagai ilmu yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang pertama kali membentangkan cara berpikir yang teratur dalam dalam suatu sIstem. Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya kelompok Safshathah. Kelompok ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki menghujat dan malah merusak sIstem social, agama dan moral dengan cara mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi membuat penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Aristoteles (382-322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah denga pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahya, sehingga logika dipelajari di setiap keguruan. Plato (427-347 SM.), Murid Socrates hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa Jerman menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit, karena sudah cukup sempurna.
Logika formal merupakan hasil ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles ialah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya, penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini perlu diketahui mengenai hakikat tanggapan, ada tanggapan singular dan tanggapan pertikular.
Aka tetapi, Konsili Nicae (324 M), menyatakan menutp pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia da Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu sampai hamper seribu tahun lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam, sehingga dikenal dengan zaman Dark Ages (zaman gelap).
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama Islam di Jaziriah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Di zaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah Islam yag dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Diantara ulama dan cendikiawan muslin yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq adalah Badullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishak Al Kindi, Abu Nasr Arl-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yagn lai. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di anatara ulama-ulama besar Islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, Syadzuddin At-Tafsajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslin membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam menginterprestasikan hadits dan Al-Qur’an.

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

3.1 Penjelasan Bahasa dalam Logika Hukum
Bahasa merupakan bentuk verbal dari pikiran manusia, bahkan merupakan alat dan dan sarana untuk berkomunikasi. Manusia dapat saing berkomunikasi satu sama lain hanya melalui bahasa. Jadi, bahasa dapat didefinisikan antara lain sebagai rangkaian symbol-simbol yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan gagasan, pendapat, serta perasaan orang kepada orang lain.
Sejarah penggunaan bahasa pada umumnya memang tidak penah lengkap dan sempurna. Hai ini berhubungan erat dengan pengetahuan tentang manusia dan tidak akan pernah lengkap sejauh cerita tentang manusia tidak pernah mencapai kesempurnaannya.
3.2 Bentuk-Bentuk Umum Bahasa
Bahasa manusia secara umum mempunyai dua bentuk, yaitu lisan dan tulis. Bahasa lisan terdiri dari pola-pola suara, sementara bahasa tulisan terdiri dari pola-pola visual. Karena masyarakat manusia yang satu mempergunakan pola-pola suara dan poa-ola visual berbeda dengan masyarakat lainnya, terbentuklah berbagai macam jenis bahasa di muka bumi ini.
Pola-pola suara adalah bunyi yang diberi mkna linguistic untuk memverbalisasi gagasan, perasaan, atauun hasil pemikiran manusia. Bentuk bunyi yang mengandung makan tersebut seanjutnya disebut kata atau term. Poal-pola visual adalah cara linguistic untuk menuliskan sebuah kata atau term. Dalam menganalisis arti bahasa, menurut Wittgenstein1[1] sebagai berikut:
a. Jenis-jenis kata
Dua ucapan dari struktur gramatika yang sama dapat memiliki struktur logis yang berbeda.
Contoh:
Ada seminar akademik hari ini.
Ada seminar akademik di Ruang Audio-Visual
Kata ada pada kalimat pertama memperlihatkan atau menggambarkan eksistensi sebuah seminar, sedangkan dalam kalimat ke dua kata ada menunjukkan proses berlangsungnya sebuah seminar.
Menurut Wittgeinstein, dalam pandangannya tentang language games, jenis-jenis kata di bedakan menurut peran dan fungsinya. Ia mengatakan bahwa kata-kata yang bersifat transedental yang dipergunakan dalam hidup sehari-hari banyak yang tidak bermakna,atau seakan-akan bermakna, misalnya kata-kata keadilan, kesalahan prosedur, atau petunjuk, dan sebagainya. Menurut Wittgenstein, kata-kata semacam itu hanya akan bermakna jika dihubungkan dengan sebuah konteks games tertentu.
b. Bahasa Ideal
Dalam proses menganalisis bentuk-bentuk unkapan atau pernyataan, Wittgenstein menganggap ungkapan tersebut sebagai sarana untuk menjelsakan sesuatu yang lain. Jika penggunaan bahasa dengan yang actual dirasakan kering, maka lebih baik diganti dengan yang lain. Namun, bila pernyataan tertentu mempunyai arti khusus dan tertentu pula, perntaan ini sebenarnya sudah membawa makna yang di maksudkan. Sebagai contoh adalah pernyataan “Harap antre!” yang tertulis di loket pembelian karcis. Pernyatan tersebut sudah mengandung makna khusus bagi para pembacanya dalam situasi yang terkait.
3.3 Ciri-Ciri Khas Bahasa pada Umumnya
Dalam setiap bahasa selalu terdapat empat unsur pokok, yaitu sebagai berikut :
a. Simbol, yaitu kata, nama, atau frase, yang di pergunakan untuk menyebut sesuatu;
b. Objek, yaitu benda yang disebut dengan symbol;
c. Referensi, yaitu makna yang menjembatani hubungan antara symbol dan objek yang di simbolksan;
d. subjek, yaitu individu pelaku yang menciptakan simbol dan menggunakannya pada suatu hal khusus.
Semua simbol, yaitu kata-kata atau nama yang dipergunakan untuk menyebut suatu hal, biasanya bersifat konvensional. Artinya, makna yang dibawahnya tergantung pada manusia sebagai objek. Symbol merupakan wujud persetujuan antara subjek yang satu dengan subjek yang lainnya dalam nyebut atau menamai benda-benda, hasil pemikiran, dan sebagainya. Jadi, jika suatu buah disebut pisang, sebutan ini merupakan hasil kesepakatan umum antar individu anatar Indonesia. Individu lain dari bangsa lain bias jadi bersepakat menyebutnya dengan istilah lain, misalnya orang-orang Inggris menyebut buah tersebut banana.
Meskipun demikian, kehadiran atau eksistensi sebuah simbol atau kata tidak sepenuhnya menjamin eksistensi aktual benda yang menjadi referensinya. Oleh karenanya, kita tidak boleh menyatakan bahwa Tuhan itu ada hanya karena ada sebutan atau kata Tuhan semata-mata. Jadi, adanya sebuah simbol dalam bahasa tidak boleh secara sembarangan dipergunakan untuk membuktikan eksistensi actual objek referensinya.
Menurut Wittgenstein, dunia ini terdiri dari berbagai macam fakta yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain. Demikian juga dengan bahasa. Bahasa terdiri dari kalimat-kalimat atomik, yaitu pernyataan-pernyataan sederhana dan asli. Pernyataan-pernyataan ini terdiri dari simbol-simbol atau nama-nama sederhana yang langsung berhubungan dengan objeknya. Sebuah kalimat, bila dianalisis sampai ke unsur dasarnya, terdiri dari gabungan nama-nama yang mewakili objek-objeknya. Jadi, peran utama bahasa adalah memberikan gambaran tentang realitas. Bahasa adalah gambar, model ataupun situasi yang dapat kita alami sendiri secara langsung. Sebuah kalimat mempunyai hubungan Isomofik2[2] dengan realitas dan maknanya yang sedikit banyak ditentukan oleh kondisi kebenarannya. Jadi, bila dikatakan bahwa “bahasa membawa buah pikiran kita”, ini dapat diartikan bahwa gambar tentang fakta pada dasarnya adalah buah pikiran kita sendiri.
Sebuah gambar dapat melukiskan realitas, tetapi tidak dapat melukiskan bentuk penampilannya sendiri. Kita dapat menyebut sesuatu dengan mempergunakan kata atau kalimat, tetapi kita tidak dapat menggambarkan atau menerangkan bagaimana kalimat atau kata berhasil menampilkan realitas, entah benar entah salah. Lebih lanjut, Wittgenstein menyatakan bahwa buah pikiran adalah kalimat dengan sensenya. Ini berarti pula bahwa kita tidak mungkin berpikir tanpa menggunakan bahasa sebab buah pikiran atau gagasan hanya akan terwujud dalam kalimat atau kata.
Oleh karenanya, gambar dalam bahasa (kalimat) hanya dapat dibentuk melalui kombinasi nama-nama. Kombinasi semacam ini melukiskan adanya konfigurasi objek-objek sebagaimana bila kita perbandingkan dengan tableau vivant (gambar hidup) yang terdapat pada layar perak gedung-gedung bioskop.
Lebih lanjut Wittgenstein menyatakan bahwa berbicara merupakan tingkah laku tertentu dalam situasi tertentu. Inilah bukti bahwa buah pikiran pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Buah pikiran bukanlah sebuah proses tersendiri yang ada dibalik bahasa, melainkan timbul dan terjadi dalam operasionalisasi bahasa. Bahasa tidak sekedar berfungsi memberikan informasi, tetapi lebih dari itu bahasa berfungsi dan mempunyai makna ganda seperti memerintahkan, mengatur, mengarahkan, dan sebagainya. Variasi bahasa itulah yang disebut fakta.
3.4 Jenis-jenis Ilmu Pengetahuan Bahasa
a. Pragmatik
Pragmatik ialah ilmu pengetahuan linguistik (bahasa) yang berhubungan dengan pembahasan tentang asal-usul kata, bentuk kata-kata turunan, serta akar dari sebuah simbol atau term. Sebagai contoh, kata demokrasi berasal dari gabungan dua buah kata Yunani, yaitu demos yang artinya rakyat jelata dan Kratein yang artinya memerintah atau menguasai.
b. Semantik
Semantik ialah ilmu pengetahuan linguistik yang membahas hubungan formal yang terdapat diantara simbol dan makna. Semantik juga sering disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang makna. Semantik mempelajari makna konvensional kata-kata atau term yang dipergunakan dalam komunikasi sosial.
c. Sintaksis
Sintaksis ialah ilmu pengetahuan linguistik yang membahas hubungan formal diantara simbol-simbol yang mempunyai fungsi khusus di dalam tata bahasa.
3.5 Fungsi Bahasa Hukum
Bahasa hukum dapat diartikan sebagai bahasa yang digunakan dibidang hukum atau bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat.
Jadi Bahasa Hukum baik lisan maupun tertulis harus dapat mengkomunikasikan hukum. Patut disadari bahwa mengkomunikasikan hukum itu tidak mudah, pekerjaan untuk menuangkan atau menyusun pikiran-pikiran atau ide-ide hukum ke dalam suatu perundang-undangan adalah pekerjaan yang sulit.
Hal ini disebabkan karena hukum itu sendiri bersifat abstrak, hukum itu akan tampak apbila ia dapat diperlambangkan, dipersonifikasikan atau diwujudkan dalam bentuk bahasa.
Bahasa Hukum sebagai alat komunikasi mempunyai tiga fungsi antara lain :
a.       Fungsi Simbolik
Bahasa Hukum mempunyai fungsi simbolik yakni berfungsi untuk mengkomunikasikan buah pikiran. Fungsi simbolik ini terlihat sangat menonjol di dalam komunikasi-komunikasi ilmiah hukum.
Fungsi simbolik Bahasa Hukum memungkinkan kita untuk memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum, karena bahasa memberikan kemampuan berpikir secara teratur dan sistematis.
Fungsi simbolik sangat menonjol dalam komunikasi ilmiah, hal ini dapat dipahami karena komunikasi ilmiah mensyaratkan suatu bentuk komunikasi yang berbeda dari bentuk komunikasi yang bersifat estetika.
Komunikasi ilmiah bertujuan menyampaikan informasi berupa pengetahuan, agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik, bahas yang digunakan harus bebas dari unsur emotif dan harus bersifat reproduktif.
Contoh : Anak yang lahir diluar pernikahan yang sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Fungsi simbolik selanjutnya dari Bahasa Hukum dapat berupa bahasa yang mencerminkan bahasa isyarat. Ini merupakan salah satu keistimewaan dari Bahasa Hukum.
b.      Fungsi Emotif
Bahasa Hukum sebagai sarana komunikasi ilmiah hukum harus bersifat jelas dan objetif serta harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Bersifat emotif artinya berusaha untuk memaksa dengan menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasinya dan dilakukan secara rasional.
Adanya unsur emotif dalam komunikasi ilmiah hukum, akan menjadikan kominikasi kurang sempurna, bahkan hukum yang dikomunikasikan tidak sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.
c.       Fungsi Afektif
Fungsi Afektif dalam Bahasa Hukum berkaitan erat dengan sikap, fungsi ini diharapkan supaya norma-norma Hukum yang dikomunikasikan melalui Bahasa Hukum mampu mengubah dan mengembangkan kepribadian agar mentaati hukum, mengingtkan kesadaran hukum serta bersikap tegas sesuai dengan aturan-aturan hukum.
Pada dasarnya fungsi afektif yang tergambar dalam Bahasa Hukum itu sangat menonjol untuk meningkatkan dan mengembangkan kebudayaan hukum, budaya hukum itu sendiri merupakan suatu karakteristik yang hidup dan dipatuhi oleh masyarakat.
3.6 Fungsi Bahasa dalam Logika Hukum
Bahasa dipergunakan atas dasar berbagai macam alasan, tujuan, maupun sasaran. Oleh karenanya, bahasa dalam konteks logika hukum memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai berikut.
a.       Fungsi Informatif
Bahasa digunakan sebagai sarana untuk membawa sebuah informasi. Dalam
Fungsi ini bahasa yang dipergunakan biasanya berbentuk deklaratif, misalnya Bahasa Ilmiah.
b.      Fungsi Praktis
Bahasa dipergunakan dengan maksud untuk menghasilkan efek tertentu. Fungsi ini juga disebut fungsi dinamis dan dalam fungsi ini bahasa dipergunakan dalam bentuk pernyataan Imperatif, misalnya perintah, seruan, intruksi, permohonan.
c.       Fungsi Ekspresif
Bahasa dipergunakan baik untuk menyatakan perasaan seseorang maupun untuk memberikan tanggapan yang sifatnya emosional. Bahasa jenis ini biasanya berbentuk pernyataan eksklamatoris, humor ataupun cetusan-cetusan sebagaimana terdapat dalam puisi.
d.      Fungsi Perfermatif
Bahasa tidak hanya dipergunakan semata-mata untuk mengatakan sesuatu melainkan sekaligus juga untuk menunjukkan realisasi apa yang dikatakan tersebut.sebagai contoh, rektor dalam Sidang Senat Terbuka berkata, “ Dengan ini Sidang Senat Terbuka Universitas Suryakancana dinyatakan dibuka, ” sambil memukulkan palu tiga kali.
e.       Fungsi Seremonial
Bahasa dipergunakan dalam pergaulan sosial sehari-hari, persahabatan, perkerabatan, maupun keramah-tamahan dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dalam fungsi ini bahasa dapat memperluas hubungan manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bentuknya misalnya sapaan dan teguran ramah.
f.       Fungsi Logis
Bahasa dipergunakan untuk membuat penalaran, analisis, penjelasan, serta penyelesaian masalah atau argumen. Bahasa dalam fungsi ini dipergunakan untuk melakukan pembuktian benar salahnya sebuah pernyataan atau keputusan. Misalnya dalam putusan hakim dalam sidang.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan                    
            Dari uraian-uraian pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Bahasa meruakan bentuk verbal dari pikiran manusia, bahkan merupakan alat dan dan sarana untuk berkomunikasi. Manusia dapat saling berkomunikasi satu sama lain hanya melalui bahasa. Jadi, bahasa dapat didefinisikan antara lain sebagai rangkaian symbol-simbol yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan gagasan, pendapat, serta perasaan orang kepada orang lain.
b.      Bahasa manusia secara umum mempunyai dua bentuk, yaitu lisan dan tulis. Bahasa lisan terdiri dari pola-pola suara, sementara bahasa tulisan terdiri dari pola-pola visual. Karena masyarakat manusia yang satu mempergunakan pola-pola suara dan poa-ola visual berbeda dengan masyarakat lainnya, terbentuklah berbagai macam jenis bahasa di muka bumi ini.
c.       Dalam setiap bahasa selalu terdapat empat unsur pokok, yaitu simbol, objek, referensi, dan subjek.
d.      Bahasa Hukum mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi simbolik, fungsi emotif, dan fungsi afektif.
e.       Fungsi bahasa dalam logika hukum yaitu fungsi Informatif, fungsi praktis, fungsi ekspresif, fungsi performatif, fungsi seremonial, dan fungsi logis.

4.2 Saran
            Untuk menyikapi fungsi bahasa dalam logika hukum, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut :
a.       Semestinya khalyak lebih memahami mengenai fungsi bahasa dalam logika hukum karena sesungguhnya fungsi bahasa sangat berperan dalam suatu penalaran bagi khalayak luas
b.      Perlunya dibuat wadah/tempat yang dapat meyalurkan fungsi bahasa dalam suatu penalaran khususnya logika hukum agar tidak salah dalam penggunaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Sumaryono.1999. Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: Kaninsius.
Yulianah, Yuyun. 2006. Bahasa Indonesia Hukum. Cianjur: Universitas Suryakancana Cianjur.
http://massofa.wordpress.com/2008/09/15/lahirnya-bahasa-indonesia/
www.google.com : sejarah logika
www.google.com : sejarah bahasa



[1] Ludwig Wittgenstein lahir di Wina pada tanggal 26 April 1889. Pada tahun 1912 ia masuk universitas Cambridge dan mempelajari filsafat di bawah bimbingan Bertrand Russell. Karena tulisannya yang berjudul Tractatus Logico- Philosophicus ia mendapat gelar Doktor Filsafat dari Trinity College. Dalam traktat tersebut ia melihat hubungan antara bahasa dan logika.
[2] Isomofik berasal dari kata isos (= sama) dan morphe (= bentuk) dalam bahasa Yunani, berarti ‘ memiliki kesamaan dalam bentuk atau penampilan’.

1 komentar: