Rabu, 21 Desember 2011

CONTOH SURAT KUASA


SURAT KUASA


Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama                              : Amelia Kartika
Kewarganegaraan           : Indonesia
Pekerjaan                       : Wiraswasta
Alamat                            : Jalan Ir. Juanda Nomor 28 RT 01 RW 02 
                                         Desa/Kelurahan Mekar Sari Kecamatan 
                                         Cianjur Kabupaten Cianjur

Dengan ini memberi Kuasa Insidentil kepada :

Nama                               : Resha Triana Novia, S.H.
Kewarganegaraan            : Indonesia
Pekerjaan                        : Pengacara
Alamat                             : Jalan M. Yamin Nomor 13 RT 03 RW 04 
                                          Desa/Kelurahan Sukamaju Kecamatan 
                                          Cianjur Kabupaten Cianjur

Khusus untuk hal-hal sebagai berikut :

1.   Mendampingi dan atau mewakili serta membela hak dan kepentingan hukum pemberi kuasa selaku Penggugat/ Pemohon di Pengadilan Agama Cianjur atas perkara cerai, perkara mana telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cianjur Tanggal 22 bulan November Tahun 2011, dengan Register Perkara Nomor PA/201/XI/2011;

2.   Menerima, membuat dan menandatangani serta mengajukan surat-surat, saksi-saksi, permohonan-permohonan, memberikan keterangan, bantahan-bantahan, mengadakan perdamaian, dan dapat mengambil segala sikap atau tindakan-tindakan yang dianggap penting dan perlu, serta berguna sepanjang menyangkut hak dan kepentingan pemberi kuasa dalam perkara tersebut di atas;

3.   Menghadap/ menghadiri persidangan-persidangan di Pengadilan Agama Cianjur, dalam upaya membela dan memperjuangkan hak dan kepentingan hukum pemberi kuasa dalam perkara tersebut di atas;

4.   Mengambil dan atau menerima surat-surat/ salinan-salinan/ akta-akta yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Cianjur setelah selesainya pemeriksaan perkara tersebut;

Demikian Surat Kuasa Insidentil ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.




Cianjur, 20 November 2011

         Penerima Kuasa                                     Pemberi Kuasa

   Materai 
 Rp. 6.000,-
       
 (Resha Triana Novia, S.H.)                             (Amelia Kartika)

CONTOH SURAT KONTRAK KERJA


SURAT KONTRAK KERJA

Yang bertanda tangan dibawah ini :
1.   Nama                          : Resha Triana Novia
Alamat                        : Jalan Ir. Juanda Nomor 35 Cianjur
Jabatan                      : HRD Manager PT. Terimajadi

Dan Dalam hal ini bertindak selaku dan atas nama

PT. Terimajadi
Yang beralamat di Jalan Cokro Aminoto Nomor 11 Cianjur
Jenis Usaha IT.
yang selanjutkan di sebut sebagai Pihak Pertama

2.   Nama                         : Maulana
Jenis Kelamin           : Laki-laki
Tempat & Tgl lahir     : Cianjur, 2 April 1986
Umur                         : 25
Agama                        : Islam
Pendidikan terakhir   : S1 (Sarjana Komunikasi)
Alamat                       : Jalan Ahmad Yani Nomor 105 Cianjur
No.KTP                       : 32109871981111
Telepon, HP, e-mail    : 087871121346, maulana@yahoo.com
Status Perkawinan     : Belum Kawin

Dalam hal ini bertindak atas nama diri sendiri, dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua (karyawan).

Kedua belah pihak sepakat untuk membuat perjanjian kerja dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut:

Pasal 1

Pihak Pertama dengan ini menyatakan menerima Pihak Kedua sebagai karyawan/pekerja perusahaan PT. Terimajadi, yang Beralamat di Jalan Cokro Aminoto Nomor 11 Cianjur, dan menjabat sebagai Kabag Humas, dan Pihak kedua dengan ini menyatakan bersedia menjadi karyawan Pihak Pertama Sebagai Kabag Humas.

Pasal 2

Masa Percobaan ditetapkan selama 3 bulan dihitung sejak tanggal masuk diterima bekerja (perjanjian kerja waktu tertentu tidak boleh disyaratkan dalam masa percobaan), yakni sejak tanggal 10 Desember 2011. Dengan Upah yang diberikan secara (bulanan, harian, mingguan), besarnya upah pokok Rp 2.500.00,- dengan waktu kerja sehari selama 8 jam, atau 48 jam seminggu.

Pasal 3

Tunjangan-tunjangan di luar upah adalah:
Tunjangan makan : Rp. 50.000,- untuk 1 hari kerja
Tunjangan transport : Rp. 50.000,- untuk 1 hari kerja
Lembur Libur : Rp, 250.000,- untuk 1 hari kerja
Lembur Tambah waktu kerja : Rp. 150.000,- untuk 1 hari kerja
Bonus : Kebijakan kantor

Pasal 4

Apabila Perusahaan atau Pekerja mengakhiri perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebelum waktunya berakhir, maka pihak yang mengakhiri perjanjian kerja tersebut wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar sisa upah pekerja sampai waktu atau pekerjaan seharusnya selesai, kecuali apabila putusnya hubungan kerja karena alasan memaksa/kesalahan berat pekerja.

Pasal 5

Pihak Pertama dan Kedua bersedia mentaati isi peraturan perusahaan, dan pihak kedua akan patuh pada tata tertib perusahaan.

Pasal 6

Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian kerja ini, berlaku ketentuan isi KKB dan/atau peraturan perusahaan (jika perusahaan belum memiliki KKB atau peraturan perusahaan, perjanjian kerja ini dibuat lebih rinci lagi dengan mengacu pada pedoman pembuatan peraturan perusahaan)

Pasal 7

Segala perselisihan yang timbul akibat perjanjian kerja ini akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, dan apabila tidak dapat diselesaikan para pihak akan menyelesaikannya melalui Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Cianjur.

Demikian Surat Perjanjian Kerja ini dibuat, setelah para pihak membaca dan memahami isinya kemudian dengan sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun bersama-sama menandatanganinya diatas kertas bermaterai yang berlaku.


 
Cianjur, 9 Desember 2011


      Pihak Pertama                                               Pihak Kedua
Manajer PT. Terimajadi                                       Kabag Humas



   Resha Triana Novia                                              Maulana

RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP TRAFFICKING SEBAGAI KEJAHATAN TRANSNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
     Human trafficking atau perdagangan manusia terutama perempuan dan anak-anak merupakan bentuk perbudakan pada era modern ini. Hal ini telah menjadi masalah serius sampai ke tingkat internasional. Di Indonesia, trafficking sudah seperti wabah penyakit yang memakan banyak korban dalam satu dekade terakhir. Trafficking juga telah meresahkan masyarakat, karena begitu mudahnya perempuan dan anak-anak terjebak dalam perdagangan manusia. Tentunya praktik yang tidak manusiawi ini harus segera dihentikan dan dihapuskan.
     Maraknya praktik perdagangan perempuan dan anak-anak bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor dominan yang dapat kita tengarai adalah kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, dan kebodohan. Dari beberapa faktor ini tentu saja sindikat-sindikat dari pelaku trafficking bisa memanfaatkannya untuk kepentingannya.
     Disisi lain jika kita melihat aturan legal, terdapat banyak jaminan perlindungan bagi anak dari trafficking. Selain dalam Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terdapat sedikitnya 4 instrumen internasional lain yang mengatur tentang trafficking atau perdagangan anak dan perempuan, dan 4 instrumen nasional yaitu UU Kesejahteraan Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan UU Hukum Pidana. Tetapi sekali lagi, terutama menyangkut instrumen nasional, persoalannya adalah seputar substansi, interpretasi, dan implementasi.
     Kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak-anak untuk dijadikan sebagai pekerja seks di Indonesia jarang terungkap karena licinnya sindikat perdagangan perempuan dan korupnya lembaga penegakan hukum di negeri ini.
     Para pelaku dan jaringan pelaku atau sindikat dari trafficking ini harus diusut tuntas sampai kepada akarnya. Karena sindikat ini telah melibatkan jaringan yang mengglobal, maka diperlukan juga banyak elemen. Bagaimanapun juga pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengatasi persoalan human trafficking ini agar bisa dihapuskan.
     Berlatar belakang dari uraian di ataslah, maka penulis mencoba menuangkan dalam makalah yang berjudul : “Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Trafficking Sebagai Kejahatan Transnasional.

B.   Rumusan Masalah
     Dalam membahas hal-hal yang berhubungan dengan Trafficking, maka penulis dengan segala keterbatasan baik wawasan maupun literatur yang ada, serta tanpa mengurangi aspek-aspek yang lainnya, penulisan ini diarahkan untuk mengkaji lebih jauh hal-hal sebagai berikut :
1.   Apa saja bentuk-bentuk trafficking?
2.   Bagaimana respon Pemerintah Indonesia terhadap trafficking sebagai kejahatan transnasional?
3.   Bagaimana upaya Pemerintah Indonesia dalam mencegah dan mengatasi trafficking?

C.   Maksud dan Tujuan Penelitian
     Adapun maksud dan tujuan penulis melakukan penelitian ini pada dasarnya adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hukum Pidana Internasional di Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, serta lebih memahami :
1.   Bentuk-bentuk trafficking.
2.   Respon Pemerintah Indonesia terhadap trafficking sebagai kejahatan transnasional.
3.   Upaya Pemerintah Indonesia dalam mencegah dan mengatasi trafficking.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Definisi Trafficking
     Traficking berasal dari kata Trafic yang artinya perdagangan. Pedanan kata orang yang berdagang/ berjualan yakni “Trafficker” yang artinya pedagang.
     Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk  pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum pelaku Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara). Konvensi PBB, Pasal 3 butir a dari protocol to prevent, suppress and punish trafficking in persins, especially womwn and children, dijelaskan :
“The recruitment, transportation, transfer, harbouring, or receipt of persons by means of the treat af use of force of other forms of coecian, of fraud, of deception, of the abuse of power or of position of vulnerability or giving or receiving of payment ort benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other froms of sexual axploitation, forced labour or services, slavery of practices similiare to slavery, servitude or the removal of organs…:[1]

     Sedangkan menurut UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) definisi perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang denganancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang laintersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar-negara, untuk tujuan eksploitasiatau mengakibatkan orang tereksploitasi.
      Dasar dibentuknya undang-undang PTPPO adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang diadopsi melalui UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Selain CEDAW, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menjadi dasar terbentuknya UU PTPPO serta sejumlah produk hukum lainnya yang signifikan.
       Dari kedua definisi tentang human trafficking di atas memberikan gambaran kepada kita tentang tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia tersebut. Sehingga kita dapat melakukan upaya-upaya untuk mengeliminasi adanya korban perdagangan manusia. Karena meskipun human trafficking bukan fenomena yang baru, dalam kenyataannya sampai saat ini perdagangan manusia tersebut belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari pihak-pihak terkait. Maka tak mengherankan jika korban trafficking terus saja berjatuhan.

B.   Modus Operandi Trafficking
     Tentang organisasi bisnis yang mempunyai hubungan dengan kejahatan, M. Reksodiputro mengemukakan bahwa : “Organisasi bisnis yang mempunyai hubungan dengan kejahatan terorganisasi secara garis besar dapat dibagi tiga. Pertama, adalah perusahaan kedok, yaitu yang didirikan memang untuk menutupi kegiatan kejahatan: apabila terbongkar, maka perusahaan ini segera bubar. Kedua, perusahaan legal, yang melakukan kegiatan melanggar hukum sebagai bisnis sampingan, sebagian besar kegiatan bisnisnya adalah legal, tetapi disamping bisnis rutin yang legal, secara teratur perusahaan ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan. Ketiga, adalah perusaan legal dan pemilik serta pengurusnya selalu bergerak dalam bidang kegiatan bisnis yang legal namun mereka membiarkan dan memanfaatkan adanya kegiatan yang berada di sekitar mereka”.[2]
     Perdagangan orang dapat diartikan segala bentuk kegiatan yang diarahkan pada upaya bujukan, pengiriman, pengalihan, atau pemberangkatan dan penyerah terimaan seseorang yang tidak sesuai dengan hati nurani dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan menakut-nakuti, penculikan atau penipuan dalam berbagai bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan terhadap yang lemah (rentan) sehingga menimbulkan ketakutan, paksaan, penipuan termasuk yang timbul dari ikatan perutangan dengan pembayaran tenaga dan atau ikatan perjanjian kerja paksa dan penghambatan, dengan maksud untuk mendapat bayaran, keuntungan, atau penguasaan atas hak kebebasan seseorang dengan tujuan mengekspolitasi hak-hak seseorang. Termasuk dalam pengertian perdagangan orang dan anak adalah tindakan eksploitasi pelacuran, atau eksploitasi dalam bentuk sekecil apapun seperti pelacuran, pemaksaan, hubungan seksual, pekerja paksa, perbudakan, penghambatan bahkan sampai penjualan bagian dari organ tubuh tertentu.
     Dari pengertian di atas, terdapat suatu ciri utama dari perdagangan orang ini, yaitu korban diperlakukan sedemikian rupa seperti seorang budak, yang tidak mempunyai kemerdekaan untuk melakukan atau berbuat sesuatu dengan keinginannya serta pada kondisi itu. Banyak cara dan modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana atau kejahatan perdagangan perempuan dan anak (termasuk anak adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun) antara lain : dengan cara penipuan atau janji-janji bohong, sehingga korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah objek dari kejhatan perdagangan perempuan yang dilakukan oleh pelaku perorangan ataupun suatu jaringan yang luas dan terorganisasi baik di dalam Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia. Karena ingin bekerja dan mendapatkan penghasilan yang cukup menjanjikan, namun tanpa adanya perlindungan hukum.

C.   Sejarah Trafficking
     Perdagangan orang sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bukti tertulis tertua yang ditemukan menunjukkan bahwa praktek ini sudah berlangsung sejak abad VI di wilayah Romawi.[3] Di Indonesia sendiri sudah terjadi sejak zaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang berasal dari lingkungan kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan
keluarga istana.[4]
       Sistem feodal ini belum menunjukkan keberadaan suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pekerja seks, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang.[5] Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak yang saat ini diperdebatkan di tingkat regional maupun global merupakan jenis perbudakan pada era modern, dan konsep dasarnya adalah perekrutan, pemindahan manusia dari satu tempat ke tempat lain baik antar wilayah dalam satu negara atau antar negara. Akibat perdagangan perempuan ini tidak hanya merampas kemerdekaan korban, tetapi juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan, siksaan fisik, kerja paksa, penyakit, trauma psikis, cacat bahkan hingga kematian.
       Tahun 2008 menurut Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care devisa sektor TKI mencapai sekitar USD 8,4 miliar atau lebih dari Rp 100 triliun dari buruh migran yang sekitar 73 persennya perempuan.[6] Jumlah TKI di luar negeri saat ini sekitar 6,5 juta, sekitar 2,6 juta di Malaysia, 1,8 juta di Timur Tengah, 120.000 di Singapura, 124.000 di Hongkong, 113.000 di Taiwan, 160.000 di Korea, dan 80.000 di Jepang. Sisanya tersebar di berbagai negara lain, seperti Eropa, AS, dan negara-negara yang sedang berkonflik.[7] Menurut Anis, pekerja yang berusia di bawah 18 tahun berjumlah sekitar 54 persen. Sekitar 46 persen dari penempatan TKI terindikasi kuat trafficking karena tidak melalui mekanisme migrasi aman.
       Berdasarkan data dari organisasi dunia yang menangani masalah anak, United Nations Emergency Children’s Fund (UNICEF), angka global anak yang diperdagangkan tiap tahunnya ada sekitar 1,2 juta dan sekitar 2 juta anak di seluruh dunia dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya.[8] Industri perdagangan anak ini menangguk untung USD 12 milliar per tahunnya (ILO). Rata-rata setiap tahun 100.000 perempuan, dan anak-anak Indonesia telah diperdagangkan oleh sindikat perdagangan orang. Sekitar 30% dari total korban adalah perempuan dibawah 18 tahun.[9] Ada beberapa yang masih berumur 10 tahun dan sekitar 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks.[10] Data International Organization for Migration (IOM), antara Maret 2005 - Januari 2008 mencatat perdagangan orang sebanyak 3.024 orang dengan rincian 5 bayi, 651 anak perempuan, 134 anak laki-laki, 2.048 perempuan dewasa dan 206 laki-laki dewasa.[11] Dari jumlah tersebut, 55 persen korban dieksploitasi di sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT), 21% di sektor pelacuran paksa, 18,4% di sektor pekerjaan formal, 5% dieksploitasi pada tahap transit (khusus pekerja), 0,6% perdagangan bayi. Ironisnya, dari sejumlah kasus tersebut yang dibawa ke meja pengadilan secara nasional kurang dari 1% saja.[12]


BAB III
PEMBAHASAN
          
A.   Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa bentuk trafficking yang terjadi pada perempuan dan anak-anak: [13]
1.   Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia.  Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan  menolak bekerja.  
2.   Pembantu Rumah Tangga (PRT)  –  baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen  menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
3.   Bentuk Lain dari Kerja Migran  –  baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
4.   Penari, Penghibur dan Pertukaran Budaya – terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
5.   Pengantin Pesanan  –  terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
6.   Beberapa Bentuk Buruh atau Pekerja Anak – terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
7.   Trafficking penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.
8.   Pengedar narkotika  −  baik di luar negeri ataupun di Indonesia.  Dalam mata rantai bisnis narkotika perempuan telah menjadi korban maupun pelaku. Perempuan dalam bisnis narkotika juga tidak bisa dilepaskan dari perdagangan manusia karena ditemukan bahwa perempuan dalam kegiatan tersebut telah diberi janji-janji kosong, dikirim ke luar negeri dengan berbagai tipuan, dijadikan pacar atau diajak hidup besama sampai dinikahi oleh lelaki pengedar narkotika atau pemilik bisnis narkotika. Disinilah perempuan disebut sebagai korban. Perempuan kemudian menjadi pelaku pengedar narkotika (tanpa kesadaran akan resikonya) saat ia dijadikan kurir oleh suaminya sedangkan kalau ia ditangkap maka hukum yang berlaku, perempuan tersebut dikategorikan sebagai pembawa dan penjual nakotika.[14]
9.   Transplatasi organ tubuh

B.   Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Trafficking Sebagai Kejahatan Transnasional
     Perdagangan manusia (human trafficking) memang telah cukup lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Isu perdagangan manusia (khusunya anak dan perempuan) mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tatkala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lainnya pada peringkat ke-tiga atau terendah dalam merespon isu ini. Negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai negara yang tidak mempunyai standar pengaturan tentang perdagangan manusia dan tidak mempunyai komitmen untuk mengatasi masalah ini.
     Tidak sebatas pernyataan, ESCAP kemudian bersama organisasi perburuhan internasional (ILO) telah mengeluarkan ancaman untuk memberikan sanksi yang berat bagi Indonesia apa bila hingga tahun 2003 tidak mengeluarkan langkah-langkah apa pun. Ancaman serupa datang pula dari pemerintah Amerika Serikat yang akan mencabut fasilitas GSP (fasilitas umum perdagangan bagi negara berkembang) bagi negara-negara yang bermasalah dengan human trafficking, termasuk Indonesia.
     Trafficking in Persons Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-tiga dalam upaya penanggulangan perdagangan anak. Negara-negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai (1) negara yang memiliki korban dalam "jumlah yang besar," (2) pemerintahannya belum sepenuhnya menerapkan "standar-standar minimum" serta (3) tidak atau belum melakukan "usaha-usaha yang berarti" dalam memenuhi standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan anak.
     Menanggapi desakan-desakan internasional tersebut pemerintah Indonesia kemudian berupaya keras merespon dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi persoalan perdagangan manusia. Kebijakan penting yang dihasilkan kemudian adalah munculnya Keputusan Presiden No 88 Tahun 2003 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak yang di tanda tangani pada tanggal 30 Desember 2002 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Tidak itu saja, Indonesia kini telah mensahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. Disisi lain, kalangan masyarakat sipil terutama LSM mulai aktif melakukan langkah-langkah untuk turut menangani persoalan ini. Peran media massa yang banyak mengungkap kasus perdagangan manusia turut memberikan kontribusi penting bagi tersosialisasinya isu ini.
     Pada bulan Februari 2004 di Pulau Batam, terjadi pertemuan empat negara yaitu Amerika Serikat (AS), Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pertemuan itu membahas tentang upaya memerangi kejahatan kemanusiaan bersindikat internasional, yaitu perdagangan manusia (human trafficking). Pertemuan itu diprakarsai langsung oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan AS dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional. AS mengajak tiga negara dikawasan Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menolerir perdagangan manusia. AS juga meminta agar semua negara tidak menjadikan perempuan, seks, dan perbudakan sebagai objek penghasil uang.
     Tujuan pertemuan tersebut tidak lain adalah ingin merumuskan tiga agenda aksi yang harus dilakukan LSM dan aparat penegak hukum dalam memerangi trafficking, yaitu penanggulangan korban, pencegahannya, dan penegakan hukum kasus-kasus trafficking. Yang tak kalah penting, salah satu butir rekomendasi konferensi, menjadikan Batam sebagai pelopor memerangi kasus-kasus perdagangan manusia. Mengingat daerah ini sebagai tempat transit sebagian besar perempuan dan anak yang akan diperdagangkan ke luar negeri.
     Namun dalam perjalanannya ternyata Indonesia dinilai masih belum serius dalam menangani dan mencegah terjadinya perdagangan manusia. Hal itu menyusul menurunnya peringkat Indonesia dari Tier 2 menjadi Tier 2 Watch List (Tingkat 2 Daftar Pengamatan Khusus). Peringkat itu dikeluarkan US Departement of State pada 5 Juni 2006 lalu. Departemen yang langsung dibawahi Gedung Putih tersebut melakukan investigasi ke berbagai daerah di Indonesia. Posisi itu menyebabkan posisi Indonesia sama dengan Malaysia dan Kamboja. Indonesia diturunkan peringkatnya karena dianggap gagal oleh Pemerintah Amerika Serikat dalam memberikan bukti terhadap adanya peningkatan usaha-usaha untuk memerangi perdagangan manusia, yaitu salah satunya perangkat hukum yang bisa mengancam para pelaku perdagangan manusia.
     Memang upaya pemerintah dalam melindungi warganya dari tindak perdagangan manusia dinilai oleh beberapa kalangan masih belum optimal. Koordinasi aparat penegak hukum untuk mencegah dan menindak sindikat perdagangan manusia belum bisa dikatakan berhasil. Walaupun sudah banyak kasus-kasus yang mengindikasikan trafficking telah dibongkar oleh aparat kepolisian. Namun tetap saja, materi hukum yang kita punya sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan manusia (human trafficking).
     Ada dua aturan hukum yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu KUHP Pasal 297 dan UU Perlindungan Anak tahun 2002 Pasal 83. Hanya saja kedua aturan hukum ini tidak memberi definisi perdagangan manusia. Ketiadaan definisi ini membawa masalah serius dalam penerapan kedua aturan tersebut dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan manusia. Problem ini ditemukan, misalnya dalam kasus sindikat perdagangan perempuan di bawah umur asal Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Dalam kasus ini ternyata pelaku hanya dituntut dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, menipu data tenaga kerja, atau menganiaya calon tenaga kerja wanita (TKW). Ancaman hukumannya 2 tahun 8 bulan penjara. Hukuman ini terlampau ringan dibandingkan bila menggunakan Pasal 297 KUHP yang berbunyi "Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun."

C.   Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Mencegah dan Mengatasi Trafficking
     Dalam mencegah dan mengatasi human trafficking, maka pemerintah telah melakukan tindakan sebagai berikut :
1.   Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
2.   Memperluas sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
3.   Mensahkan UU Perlindungan anak (UU No. 23 Tahun 2002).
4.   Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban TPPO).
5.   Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002).
6.   Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO).
7.   Penyusunan draft Perda Trafficking.
Upaya pencegahan yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia untuk Human Trafficking adalah sebagai berikut:
1.   Penyadaran masyarakat untuk mencegah trafficking melalui sosialisasi kepada berbagai kalangan (Camat, Kepala Desa/Lurah,Guru, Anak Sekolah).
2.   Memperluas peluang kerja melalui pelatihan keterampilan kewirausahaan, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain.
3.   Peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak baik formal maupun informal.